Info Sekolah
Kamis, 10 Jul 2025
  • MAN 2 Kota Banjarmasin Madrasah Aliyah Plus Keterampilan
  • MAN 2 Kota Banjarmasin Madrasah Aliyah Plus Keterampilan
8 Juni 2025

QURBAN: Saat Kita Harus Menyembelih yang Ada di Dalam Diri

Ming, 8 Juni 2025 Dibaca 88x

oleh : Taufikurrakhman, S.Pd.I (wakamad humas)

Coba renungkan sejenak.
Manusia ini—makhluk yang katanya paling mulia—ternyata juga bisa jadi yang paling rakus, paling serakah, dan paling kejam. Kita tidak menghasilkan susu, tidak bertelur, tidak kuat menarik bajak, dan tak mampu mengejar kelinci. Tapi anehnya, justru kita yang memegang kuasa atas semua makhluk itu.
Kita bisa menghabiskan tanpa merasa bersalah. Bisa memakan tanpa memberi. Bisa membunuh bukan karena lapar, tapi karena ego. Bisa menyakiti bukan karena takut, tapi karena ingin merasa lebih tinggi.
Ya, manusia bisa menjadi lebih binatang dari binatang itu sendiri.
Tapi ada satu momen dalam setahun, di mana kita diajak berhenti sejenak—untuk melihat ke dalam diri, untuk mengingat bahwa dalam tubuh yang rapuh ini, ada sifat liar yang harus disembelih: nafsu.
Itulah makna terdalam dari qurban.
Qurban bukan hanya soal sapi siapa yang paling jumbo atau kambing siapa yang paling eksotis. Bukan juga soal siapa yang upload video penyembelihan dengan caption paling religius. Ini bukan kontes. Ini juga bukan ritual tahunan yang selesai ketika darah hewan pertama kali menetes.
===
Qurban adalah cermin.
Cermin yang menunjukkan betapa banyak dari kita masih hidup dengan “diri hewani” yang belum tersentuh pisau. Kita masih gampang marah, mudah rakus, suka membanding-bandingkan, dan merasa dunia harus selalu memihak kita.
Lalu kita bertanya:
Bagaimana mungkin seekor kambing bisa menebus keserakahan dalam hati kita, jika kita bahkan tidak pernah berniat menyembelih keangkuhan itu?
===
Kisah Ibrahim Bukan Cerita Lama
Kisah Nabi Ibrahim bukan dongeng. Itu adalah pelajaran level tinggi soal pengorbanan. Bayangkan, diperintah menyembelih anak kandung sendiri—bukan karena benci, tapi karena cinta yang lebih besar: cinta kepada Tuhan.
Tapi yang luar biasa justru Ismail. Seorang anak yang berkata dengan tenang, “Lakukan apa yang diperintahkan kepadamu.”
Ada keikhlasan yang dalam. Ada penyerahan yang total. Ada kepasrahan yang tak mungkin dibuat-buat.
Pertanyaannya:
Apa yang pernah kita korbankan untuk Tuhan, untuk sesama, untuk menjadi manusia yang lebih baik? Atau jangan-jangan, kita terlalu takut kehilangan kenyamanan, sampai-sampai tak pernah menyentuh rasa ikhlas?
===
Kita dan Binatang di Dalam Diri
Kadang, kita pikir binatang itu buas. Tapi sebenarnya, mereka hanya bertindak sesuai naluri. Mereka tidak pernah korupsi. Tidak pernah manipulasi. Tidak pernah tega mengadu domba.
Manusia? Bisa menghancurkan satu kota dengan satu keputusan. Bisa membungkam satu generasi dengan satu kebohongan.
Maka, saat Idul Adha datang, ini bukan cuma soal takbir dan daging. Ini soal keberanian. Berani melihat ke dalam diri. Berani bertanya:
Masih adakah sifat binatang yang bersembunyi dalam tubuh kita yang berjas dan bersurban?
Berani nggak, menyembelih itu semua?
===
Qurban: Tentang Kita yang Mau Jadi Lebih Manusia
Qurban adalah kesempatan tahunan untuk menjadi lebih manusiawi. Saat kita menyembelih hewan, kita juga sedang belajar menyembelih:
Ego yang selalu merasa benar,
Dengki yang merusak hubungan,
Rasa tamak yang bikin lupa batas,
Dan kesombongan yang menolak untuk tunduk pada Tuhan.
Tuhan tidak butuh daging dan darah. Dia tidak lapar. Tapi Dia ingin melihat, seberapa serius kita menyederhanakan hidup, dan menyucikan hati.
===
Penutup: Mari Menyembelih dengan Jujur
Kita bisa beli kambing, sapi, bahkan unta. Tapi jika sifat kebinatangan dalam diri masih kita pelihara, maka qurban hanya jadi ritual kosong.
Qurban bukan tentang berapa ekor yang disembelih. Tapi tentang berapa banyak nafsu yang berhasil kita taklukkan.
Dan pada akhirnya, semoga yang tersisa dari kita setelah qurban bukan hanya stok daging di kulkas, tapi juga hati yang lebih bersih, jiwa yang lebih lembut, dan kemanusiaan yang kembali hidup.
Karena sejatinya, ibadah paling suci adalah ketika kita menyembelih bukan makhluk lain, tapi diri kita sendiri—diri yang penuh hawa nafsu, ego, dan sifat liar yang tak pernah puas.
Selamat menyembelih. Jangan hanya kambingnya. Tapi juga amarahmu, ambisimu, dan arogansimu.
Barangkali itu qurban yang sesungguhnya.

Artikel ini memiliki

0 Komentar

Tinggalkan Komentar