Info Sekolah
Kamis, 10 Jul 2025
  • MAN 2 Kota Banjarmasin Madrasah Aliyah Plus Keterampilan
  • MAN 2 Kota Banjarmasin Madrasah Aliyah Plus Keterampilan
8 Juni 2025

Saatnya Berhaji Dengan Nalar dan Nurani

Ming, 8 Juni 2025 Dibaca 83x
oleh : Taufikurrakhman, S.Pd.I (wakamad humas)
Setiap tahun, ketika jutaan umat Islam dari berbagai penjuru dunia menunaikan ibadah haji, dunia kembali diingatkan pada kekuatan iman dan keagungan spiritualitas. Namun di balik gema takbir dan talbiyah, Haji 2025 memunculkan keprihatinan mendalam: sistem pelaksanaan yang rumit, realitas pahit kasus haji furoda, kekacauan pemberangkatan, hingga kesenjangan antara nalar pengelolaan dan nurani kemanusiaan.
Maka dari itu, opini ini saya tulis sebagai ajakan terbuka: agar kita semua, baik pengelola, calon jemaah, maupun publik luas, kembali berhaji dengan nalar dan nurani.
Haji bukanlah sekadar mobilisasi massa lintas negara. Ia adalah puncak pengalaman spiritual yang mestinya menenteramkan, bukan mencemaskan. Namun berbagai dinamika 2025 menunjukkan bahwa jika tidak dikoreksi secara serius, haji justru bisa menjadi ladang komersialisasi dan kekacauan administratif yang jauh dari semangat keikhlasan. Kini saatnya kita mengevaluasi dan memperbaiki bersama.
Realitas Pahit di Lapangan
Masalah utama yang mencuat pada Haji 2025 adalah carut-marut sistem pemberangkatan. Puluhan jemaah haji furoda tertahan, bahkan gagal berangkat setelah membayar mahal. Mereka menjadi korban sistem yang longgar namun dimanipulasi. Haji furoda, yang seharusnya jalur khusus visa undangan, berubah menjadi ‘jalan pintas’ yang diperjualbelikan.
Ini menunjukkan bahwa kita terlalu percaya pada narasi bahwa semua pihak paham hukum dan etika. Padahal, banyak biro haji yang memanfaatkan kebingungan jemaah sebagai ladang bisnis. Masyarakat, yang tergerak oleh semangat ingin cepat berhaji, tidak diberikan literasi yang cukup mengenai regulasi dan konsekuensi.
Lebih dari sekadar sistem, ini adalah soal krisis nurani. Kita tak hanya bicara hukum dan administrasi, tetapi tanggung jawab moral: bagaimana mungkin seseorang bisa menjual harapan spiritual umat dengan begitu ringan?
Mengapa Sistem Gagal?
Secara struktural, kegagalan terjadi karena sistem haji kita belum berbasis pada governance yang modern dan berintegritas. Koordinasi antar lembaga lemah, pengawasan longgar, dan database calon jemaah tidak terintegrasi dengan sistem internasional Arab Saudi.
Secara kultural, kita menghadapi mentalitas instan—ingin cepat berhaji tanpa memahami jalur legal dan risiko. Di sisi lain, biro travel dan agen haji melihat celah itu sebagai peluang untuk mengakumulasi keuntungan, tak peduli harus menabrak etika atau aturan.
Digitalisasi Tanpa Literasi
Pemerintah Arab Saudi sudah berusaha membangun sistem digital yang modern, seperti aplikasi Nusuk. Tapi kenyataannya, banyak calon jemaah yang gaptek (gagap teknologi). Hal ini tidak disiapkan oleh negara pengirim. Di Indonesia, misalnya, sebagian besar calon jemaah adalah lansia. Ironis bila digitalisasi diterapkan tanpa literasi.
Masalah bukan pada teknologinya, tapi pada kesiapan sosial. Ini membuat kita bertanya: apakah kita memaksakan transformasi yang tidak inklusif? Apakah digitalisasi hanya menjadi kedok untuk melegitimasi ketidakhadiran negara dalam pelayanan langsung?
Ketika Rukun Islam Dijadikan Komoditas
Fenomena haji furoda juga membuka tabir tentang bagaimana ibadah haji berubah menjadi industri besar. Ini bukan tuduhan sembarangan. Jika kita melihat bagaimana visa diperjualbelikan, hotel dikelola dalam skema bisnis global, dan penyedia jasa berlomba mengejar profit, maka jelas bahwa ibadah ini telah berubah wujud.
Apakah salah mengambil keuntungan dari pelayanan? Tidak. Yang menjadi masalah adalah ketika keuntungan lebih utama daripada keselamatan dan keabsahan ibadah. Ketika jemaah ditelantarkan, ketika mereka tidak tahu status visanya, maka itu bukan sekadar kesalahan teknis, melainkan pengkhianatan nurani.
Evaluasi Diri dan Negara
Sebagai masyarakat Muslim, kita harus berani mengevaluasi dari dalam. Jemaah harus lebih kritis, bukan hanya emosional. Jangan mudah percaya biro travel yang menawarkan ‘jalan cepat’ berhaji. Pahami jalur resmi, hak dan kewajiban sebagai jemaah, dan laporkan jika ada agen mencurigakan.
Negara, melalui Kementerian Agama dan instansi terkait, harus bersikap lebih tegas. Audit menyeluruh terhadap travel haji, pemberian sanksi keras bagi pelaku penipuan, dan penguatan fungsi edukasi jemaah harus menjadi prioritas nasional.
Rekomendasi Kritis dan Strategis
Transparansi Data dan Sistem: Kuota haji harus diumumkan secara terbuka, termasuk mekanisme pemilihannya. Database harus bisa diakses publik untuk mengecek status biro, visa, dan jemaah.
Digitalisasi yang Inklusif: Transformasi digital harus disertai program pendampingan. Libatkan mahasiswa, santri, dan relawan untuk mendampingi jemaah dalam memahami sistem digital haji.
Reformasi Travel dan PIHK: Travel yang terlibat dalam penipuan harus dicabut izinnya dan pemiliknya dijatuhi hukuman pidana. Travel resmi harus mendapatkan sertifikasi ulang setiap tahun.
Dewan Etik Haji Nasional: Bentuk lembaga independen yang berisi tokoh agama, akademisi, dan pengamat haji untuk mengawasi pelaksanaan secara moral dan etis.
Literasi Haji Berbasis Nurani: Buat kurikulum manasik yang tidak hanya menjelaskan teknis ibadah, tetapi juga etika sosial, hak-hak jemaah, dan mitigasi risiko.
Kerjasama Multilateral: Dorong negara-negara OKI membentuk platform evaluasi tahunan pelaksanaan haji dan dialog kebijakan bersama Arab Saudi.
Kembali ke Makna Asal Haji
Haji adalah perjalanan dari dunia luar ke dalam jiwa. Tapi bagaimana mungkin jiwa bisa bersih jika perjalanan kita dibalut manipulasi, ketidakadilan, dan kesewenangan? Kini, kita tidak hanya butuh paspor dan visa untuk berhaji, tetapi juga akal sehat dan kepekaan nurani.
Haji 2025 menjadi cambuk sekaligus peluang. Jika kita mau belajar dari kekacauan ini, maka kita bisa membangun sistem haji yang lebih adil, lebih manusiawi, dan lebih islami. Tapi jika kita membiarkannya, maka setiap tahun kita hanya akan menonton tragedi spiritual yang terus berulang.
Saatnya kita berhaji dengan nalar yang jernih dan nurani yang jujur. Karena sejatinya, Allah tidak hanya menilai siapa yang sampai ke tanah suci, tetapi juga siapa yang berjalan ke sana dengan hati yang bersih.
Wallahu a’lam bish showab.
Artikel ini memiliki

0 Komentar

Tinggalkan Komentar